
Masuk kedokteran, Bahagia atau Bencana?
Tertarik
masuk jurusan kedokteran? Yakin kuat lihat mayat?
Yuk simak
cerita Teman Mimin alumni FK UNPAD
Cekidot!!!
Halo
Teman-teman calon orang sukses di masa depan!
Kalau
waktu kecil ditanya cita-cita mau jadi apa, hampir sebagian anak akan jawab
otomatis mau jadi dokter. Hanya segelintir anak yang punya visi kreatif lain
semisal jadi astronot, guru, arkeolog, presiden, artis, tentara, polisi atau
pemain sepak bola. Saya mungkin termasuk golongan yang segelintir ini, kalau di
tanya cita-cita waktu kecil jawabannya gak mau jadi dokter. Terus kenapa milih
jurusan kedokteran?
Terus
terang awalnya saya gak minat-minat amat jadi dokter, tapi yang namanya anak
pasti ingin membanggakan orang tua, jadi ya usaha lah masuk ke jurusan yang “diminati”
orang tua. Saat diterima di PTN favorit sesuai pilihan pasti bahagia? bersyukur?
Sudah pasti. Bayangan masa depan menjadi dokter berjas putih, bisa membanggakan
diri sendiri dan orang tua, dan mendapatkan penghidupan yang lebih baik, memang
terasa manis. Banyak orang bilang kalau masuk kedokteran modalnya harus besar
atau harus “berdarah biru”, harus rajin, senang baca, kutu buku, dan
lain-lainnya.
Gimana
dengan saya? Modal ya ada tapi gak besar-besar amat. Terus terang saya rasa
kalau gak masuk kedokteran di PTN, ya mungkin saya gak akan berani pilih
jurusan kedokteran. Ayah saya saat itu sudah pensiun, dan saat itu kedua kakak
saya juga masih kuliah di perguruan tinggi swasta yang biayanya gak kecil. Jadi,
asal hemat-hemat, jangan sering2 jajan atau beli yang gak penting, harusnya
masih bisa bertahan. Terus harus darah
biru, maksudnya? Dunia kedokteran itu sangat amat feodal, jadi kalau kakek,
nenek, ayah, ibu, om, tante, atau keluarganya ada yang dokter, terutama dokter
spesialis yang menjadi konsultan atau staf pendidik, maka sudah hampir pasti
nasibnya juga akan mengikuti nasib leluhur-leluhurnya tadi. Selain itu kadang
perlakuan pendidik atau konsultan juga sedikit berbeda untuk para “darah biru”,
memang tidak semua begitu, tapi masih ada beberapa bagian yang secara sadar
atau tidak sadar masih menerapkan sistem seperti itu. Di keluarga saya tidak
ada yang dokter, jadi darah saya ya merah semerah-merahnya.
Jadi
karena saya tidak tajir melintir dan berdarah merah, maka begitu masuk
kedokteran saya janji dengan diri sendiri untuk berusaha 1000% (duh lebay)
lebih keras dari orang lain. Saat tahun-tahun pertama adalah tahun yang cukup
sulit untuk saya, karena saya yang berdarah merah dan berasal dari kota kecil
ini sama sekali gak familiar dengan dunia kedokteran, jadi harus mulai dari
nol, atau minus. Beda dengan teman-teman yang berasal dari SMA-SMA favorit di
kota besar dan memang punya keluarga dokter, atau sering terpapar dunia medis.
Lihat kamus kedokteran “Dorland” yang tebalnya hampir 25cm dan beratnya seberat
tabung gas subsidi, Atlas anatomi “Sobotta” dari ujung kepala sampai ujung kaki
yang berbahasa latin, belum lagi buku-buku fisiologi dan patologi kedokteran
berbagai volume yang sebagian besar berbahasa inggris, rasanya mau pingsan.
Bagaimana caranya memasukkan begitu banyak ilmu baru ke dalam otak saya yang
cuma sebesar kepala ini?
Belum
cukup dengan itu, banyak skill-skill
yang harus dikuasai untuk jadi seorang dokter, baik skill medis maupun soft skill
untuk bisa bekerja sama dengan kolega nantinya. Kebetulan sistem pendidikan
kedokteran yang saya jalani adalah sistem PBL (problem-based learning), yang artinya mahasiswa kedokteran harus
bisa belajar sendiri berdasarkan kasus yang diberikan saat tutorial. Tutor hanya mengarahkan kasus, bukan menjawab pertanyaan
atau menjelaskan materi. Kuliah sudah sangat sedikit, hanya 1-2x seminggu.
Jangan harap dosen akan dengan senang hati menjawab pertanyaan-pertanyaan
mahasiswa begitu saja, tanpa ada dasar ilmu sebelumnya. Semuanya harus dibaca
dulu, cari sendiri jawabannya, dan saat ada yang membingungkan, barulah boleh
berdiskusi, bukan bertanya.
Saat-saat
ujian adalah saat yang paling berat. Berkali-kali saya bilang pada orangtua mau
DO aja. Dimana janji mau usaha 1000% lebih keras? (LOL) Tapi untungnya tidak
pernah jadi kenyataan. Karena saya lihat semua orang juga berusaha, semua orang
juga pasti merasakan kesulitan, semua orang juga pasti di saat-saat tertentu
ingin berhenti. Tapi yang namanya manusia punya kemampuan adaptasi, dan
yakinlah segala kesulitan dan tantangan yang kita hadapi pastinya membuat kita
jadi lebih kuat, lebih pintar, lebih cekatan, dan lebih baik. Yang penting
berusaha menyelesaikan tantangan tersebut dengan baik, apapun hasilnya.
Prinsipnya apa yang kita usahakan, itulah yang hasil yang akan kita petik.
Saat-saat
terbaik adalah waktu yudisium saya dapat lulus dengan predikat cumlaude, dan tidak pernah remedial ataupun mengulang tahun (YUHUU!!).
FYI di sistem PBL, kalau tidak lulus 1 blok, mengulangnya 1 tahun ya
kawan-kawan, bukan blok yang tidak lulus aja. Gak sia-sia perjuangan begadang,
tidur hanya beberapa jam untuk menyiapkan presentasi dan ujian, akhirnya mendapat
hasil yang memuaskan.
Selesai
tahap sarjana, masih banyak tahapan yang harus dilalui untuk menjadi seorang
dokter. Lebih dari sebelumnya, usahanya harus 3000% lebih keras, karena
tantangannya juga lebih besar. Bukan hanya tantangan ujian, tapi tantangan
sebenarnya menghadapi masyarakat dan kolega. Disaat teman-teman lain di umur
22-23 tahun sudah lulus dan bisa mencari kerja/penghasilan sendiri, kami masih
harus melanjutkan pendidikan klinis sebagai asisten dokter (koas). Jangan harap
dibayar, dapat kesempatan dan ilmu dari senior atau konsulen saja sudah
bersyukur. Nantinya setelah lulus, para dokter baru diwajibkan mengikuti
program pemerintah (internship)
selama 1-2 tahun ke berbagai daerah untuk semakin memantapkan keahlian
klinisnya. Jadi total baru di umur 25-26 tahun bisa mandiri sebagai dokter,
dimana teman-teman dari jurusan lain biasanya sudah bisa dapat pekerjaan mapan
di umur segitu.
Dukungan
keluarga sangat penting dalam melalui pendidikan kedokteran. Saya termasuk
beruntung karena mendapat dukungan penuh keluarga. Saya sering tidak tega kalau
mau minta uang ke orang tua karena saya tahu pasti mereka akan mengusahakan
meskipun susah payah (T_T). Karenanya, selalu mintalah doa dan restu kedua
orang tua dan jangan lupa tetap menjaga silaturahmi dengan keluarga dan Sang
Maha Kuasa.
Saat
ini Alhamdulillah saya adalah dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah di
Rumah Sakit Umum Daerah. Banyak cerita yang bisa saya bagi, tetapi bakal sangat
panjang jadinya, harus ada part-2 (LOL). Intinya tetap berusaha seoptimal
mungkin, gigih jangan pantang menyerah, InsyaAllah kita akan memetik hasil yang
manis.
Kontributor
Lulusnegeri,
Dena
Karina Firmansyah (Kedokteran FK UNPAD)